Modernis.co, Jakarta – Jakarta selain dari pada ibukota negara, terdapat banyak pula destinasi yang wajib untuk dikunjungi. Bersama founder sekaligus ketua Institute Alfursan Cianjur (yang kebetulan sedang kuliah di STAIP Jakarta), kang Ihsan, saya diajak melancong ke tempat-tempat yang asing di mata.
Di perjalanan menuju markasnya (yang berada di Jakarta Pusat), saya terus-terusan diperlihatkan akan berbagai hal yang menarik. Sebagian ada yang sudah tau, sebagian lain ada yang belum. Hal ini tentunya membuat saya penasaran.
Sesampainya di sana, saya yang fakir ilmu terfana oleh buku-bukunya, bukan karena rapih menempatkannya, tetapi juga ingin seperti dirinya, yang kutu buku. Tak lama beristirahat, adzan pun seketika berkumandang, menandakan tibanya waktu shalat. Dan ternyata, kang Ihsan ini selain mahasiswa dan aktivis, dia pun merupakan seorang imam shalat juga guru ngaji.
Malamnya kami jalan-jalan disekitar Jakpus, dan berhenti tuk ngopi di Bundaran HI. Dan dihibur oleh para pengamen yang berparas cantik, dan saya minta request lagu ‘menemukanmu’, milik grup band Seventeen. Setelah lamanya duduk-duduk di Bundaran HI, notif WhatssApp pun berbunyi, saya disuruh balik ke rumah yang berada di Dukuh, Jakarta Timur.
Tiga hari saya berada di kota metropolitan, dan banyak sekali pelajaran yang berharga. Salah satunya dalam hal ‘memuliakan tamu’. Di sana saya dianggap sebagai tamu oleh kang Ihsan ini, padahal seringkali bertemu di Cianjur, dan sekitar sebulan yang lalu, kami nge-camp di Bukit Kasur.
Dalam Islam, memuliakan tamu adalah bagian dari beriman kepada Allah dan hari akhir. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, yang artinya, “barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya”.
Memuliakan tamu merupakan cermin perhargaan Islam terhadap hak-hak individu dan sosial. Memuliakan tamu juga berefek positif bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Dalam prakteknya, Nabi Ibrahim menjadi teladan dalam melayani tamu-tamunya. Diceritakan dalam Qur’an surat adz-Dzariyat, “maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya sapi gemuk. Lalu, dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan” (QS. adz-Dzariyat 51 : 26-27).
Islam mengajarkan bagi siapa saja yang menjadi tuan rumah, supaya menghormati tamunya, memenuhi haknya, memberikan jamuannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim AS pada ayat di atas.
Dan yang menjadi tamu pun sebisa-bisa tidak memberatkan bagi tuan rumah, “bila kamu selesai makan, keluarlah !” (al-Ahzab : 53). Kalau memang urusannya sudah selesai, alangkah baiknya untuk kembali (pulang).
Sekarang, banyak sekali tamu-tamu, dengan berbagai alasannya. Ada yang karena terpisah dengan keluarganya, ada juga yang karena ekonominya rendah, sehingga memutuskan tidur di mana saja, bahkan di gorong-gorong sekalipun, dan lain-lain. Lantas, kenapa digolongkan sebagai tamu?
Setiap manusia yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla ini dikategorikan tamu-Nya, menumpang tidur diatas permukaan-Nya, makan dari bahan-bahan yang disiapkan oleh-Nya, dan berkelana untuk menjelajah alam ciptaan-Nya.
Tamu tidak mesti yang berkunjung ke rumah, mengucapkan “assalamu’alaikum” sembari mengetuk pintu. Mereka yang kadang dipandang sebelah mata pun adalah tamu kita, dan wajib hukumnya untuk berbagi padanya.
Apalagi jikalau seseorang itu beragama Islam, dan berarti otomatis saudara kita (dalam artian seiman). Dijelaskan dalam al-Hadits, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai saudaranya”.
Jadi, apapun yang terjadi pada tamu (saudara) kita, sekiranya dia lapar maka kita pun akan (seharusnya) merasa lapar. Bagai satu tubuh jika salah satu anggota tubuh kesakitan maka yang lain pun akan berusaha menghilangkan rasa sakit tersebut.
Begitulah dalam ajaran Islam yang indah, karena menganggap tamu sebagai saudara, ia takkan rela membiarkannya nestapa. Suka dan duka di dunia dilalui bersama. Ringan sama dijingjing, berat sama dipikul. Sikap saling memiliki merupakan lambang persaudaraan sejati.
Tidak ada sekat (pembatas) di aantara kaum muslimin, karena seharusnya saling tolong menolong, bahu membahu, dan gotong royong dalam jalinan ukhuwah Islamiyah, sehingga terwujudnya masyarakat madani, yang mengedepankan nilai-nilai Islami, yang salah satunya jiwa sosial.
Oleh : Zidan Fathur Rahman (Pegiat Institute Alfursan Cianjur)